Postingan

Implementasi BLU Batubara Tetap Dilaksanakan Tahun 2023

Persnews

 


 www.persnews.my.id,makassar,|         strategis dalam berbagai aspek pembangunan. Salah satunya, berkontribusi dalam aksi perubahan iklim Tanah Air. Terbukti pada 2021 nilai ekonomi dari implementasi B30 mencapai lebih dari US$ 4 miliar dan berhasil menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 25 juta CO2e. Kalau kita telusuri lebih dalam, kebijakan ini didukung oleh kondisi pandemi di mana pergerakan orang masih terbatas.


Pemenuhan permintaan energi seiring dengan pulihnya kegiatan ekonomi pasca pandemi Covid-19 berdampak pada menurunnya energi terbarukan dalam bauran energi primer. Pemerintah menargetkan peningkatan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menjadi 23% pada 2025 dari 11% saat ini. Bersama dengan sektor Forest and Land Use (FoLU), energi menjadi sektor prioritas pemerintah dalam upaya penurunan emisi GRK. Pemerintah mencatat kontribusi sektor energi terhadap emisi GRK mencapai 36%. Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistic of Indonesia 2021 yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, realisasi bauran EBT tahun 2021 sebesar 12,2%. Meskipun dalam tren yang meningkat, tapi masih jauh dari target. Dengan capaian tersebut, Indonesia memiliki waktu kurang lebih 3 tahun untuk mencapai targetnya.


Secara historis, program biodiesel telah menjadi pendorong utama energi terbarukan peningkatan bauran energi primer, terutama sejak diperkenalkannya subsidi biodiesel dari BPDPKS pada tahun 2016. Pangsa biodiesel cepat meningkat dari 0,7% pada 2015 menjadi 3% pada 2019. Dengan demikian, biodiesel menjadi salah satu upaya pemerintah mewujudkan transisi energi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel menyumbang 4,1% dari total 11,7% bauran EBT nasional.


Meski berperan dalam transisi energi, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan bahan bakar. Ada banyak penyebab juga yang akarnya dari sini yang dapat memunculkan sejumlah risiko jika tidak dikelola secara keberlanjutan. Hal ini justru akan kontradiktif dengan upaya Indonesia dalam menurunkan emisi GRK serta memberi sejumlah dampak negatif dari sisi lingkungan maupun sosial dan ekonomi.


Pemerintah mencanangkan program mandatori biodiesel dengan campuran sawit sejak 2008. Bermula dengan kadar campuran 2,5% kini persentase campuran biodiesel telah mencapai 30%.Meski demikian, pemanfaatan biodiesel dengan campuran crude palm oil (CPO) yang telah dibentuk menjadi Fatty Acid Methyl Ester (FAME) tersebut memicu kekhawatiran sejumlah pihak. Biodiesel memang berperan sebagai langkah awal Indonesia beralih dari energi fosil ke Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya di sektor transportasi. Namun, mengingat berbagai risiko yang mungkin muncul, tapi peran biodiesel di masa depan perlu dipertimbangkan.


Biodiesel masih berperan dalam kendaraan atau alat berat yang bahan bakarnya tidak dapat digantikan tenaga listrik seperti genset, kapal, pesawat, hingga truk. Sebab, kebutuhan tenaga listrik untuk sektor energi akan semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi kendaraan listrik. Meski begitu, emisi yang dihasilkan biodiesel berbasis CPO cukup besar. Emisi biodiesel sudah dihasilkan sejak fase perkebunan sawit. Sumber emisi itu berasal dari proses alih fungsi lahan, pembibitan, pemupukan, penggunaan BBM untuk kendaraan pengangkut, hingga penggunaan listrik. Sebagai informasi, sumber emisi dari tahap perkebunan CPO adalah sekitar 80-94%, khususnya jika dibuka di lahan gambut. Dengan ini, terdapat risiko lingkungan berupa pembebasan lahan yang dapat mengakibatkan deforestasi dan degradasi lahan.


Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporannya yang berjudul “Critical Review on The Biofuel Development Policy in Indonesia” menyebutkan salah satu faktor terjadinya deforestasi adalah defisit lahan. IESR mengutip temuan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) yang menyebutkan kebutuhan lahan produktif untuk pengembangan B30 pada 2020 diproyeksikan mencapai 18,6 juta ha pada 2025. Padahal, lahan perkebunan sawit di Indonesia hanya sebesar 16,4 juta ha pada 2019. Sehingga risiko sosial yang dapat terjadi jika CPO diintensifkan menjadi bahan baku utama biodiesel. Sebab, risiko tarik menarik kepentingan antara sektor energi dan pangan dalam penggunaan CPO dapat terjadi.


Oleh karena itu, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan agar pengembangan sawit sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia tetap berkelanjutan. Melihat persoalan yang ada kunci utamanya memperbaiki tata kelola pengembangan biodiesel dari hulu ke hilir. Beberapa di antaranya meningkatkan ISPO, khususnya bagi petani swadaya, hingga menyelesaikan tumpang tindih perizinan sawit dengan yang lainnya.


Dalam pertemuannya dengan Pimpinan World Bank, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyampaikan komitmen Indonesia untuk mencapai 23 persen EBT pada bauran energi 2025.Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah juga membuat peta jalan menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Targetnya, pembangkit listrik akan didominasi oleh Variable New Energy (VRE) dalam bentuk tenaga surya, angin, dan arus laut pada tahun berikutnya.Hidrogen juga akan dimanfaatkan secara berkala sejak 2031 dan dimaksimalkan pada 2051. Di pertemuan tersebut, Arifin juga menjabarkan pemanfaatan biofuel yang sudah mencapai 11,6 juta kiloliter.


Selain peta jalan menuju NZE, sebelumnya Indonesia juga memiliki Peraturan Pemerintah (PP) 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai pengganti Peraturan Presiden (Perpres) 5/2006. PP tersebut mengatur target penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang menjadi bagian dari bioenergi.Sejak 2008, pemerintah pertama kali melakukan mandatori biodiesel dengan kadar campuran sebesar 2,5%. Seiring berjalannya waktu, persentase campurannya terus meningkat. B15 pada 2015, B20 pada 2015 sampai 2018, B30 pada 2020, dan 2021 ditargetkan menjadi B50. Namun, hingga 2022, persentase campurannya masih sebesar B30.


Untuk mengedepankan aspek keberlanjutan dalam biodiesel, Kementerian ESDM tengah membentuk sertifikasi Indonesia Bioenergy Sustainable Indicator (IBSI). Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo menyebutkan IBSI bertujuan untuk memastikan aspek keberlanjutan di hilir, dari proses produksi hingga pemanfaatan biodiesel. Terdapat sejumlah indikator penting dalam sertifikasi IBSI yaitu (1) memastikan sisi keberlanjutan lingkungan dalam siklus penanaman sawit, (2) memastikan pengelolaan limbah di tanah, udara, air, dan lainnya, (3) terkait aspek sosial dengan memastikan tercukupinya pendapatan petani. Selain itu, IBSI juga mengatur agar biodiesel berkontribusi meningkatkan lapangan kerja di dalam dan luar perkebunan serta (4) memudahkan akses energi bersih. Kelima, mendorong peningkatan produktivitas, penambahan nilai, infrastruktur, logistik, hingga distribusi.


Implementasi BLU Batubara Tetap Dilaksanakan Tahun 2023


Usulan skema BLU Batubara dicetuskan ketika pasokan batubara ke PLN untuk keperluan pembangkit listrik kritis di awal tahun hal ini dikarenakan adanya disparitas harga yang sangat tinggi antara harga batubara global dengan harga batubara DMO. Akibatnya sebagian besar perusahaan batubara yang tidak patuh dalam memenuhi kewajiban DMO.


BLU Batubara sendiri ialah badan khusus yang direncanakan dibentuk dari peleburan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) dengan Teknologi Mineral dan Batubara (Tekmira) dan rencananya akan menjalankan peran sebagai pemungut iuran dan penyalur dana untuk menutup selisih antara harga pasar dengan harga patokan domestic market obligation (DMO), khususnya untuk keperluan ketenagalistikan nasional. Dengan begitu, perusahaan batubara bisa memasok kebutuhan batubara PLN dan juga mendapatkan omzet layaknya penjualan ekspor dengan harga batubara global.


Namun sampai saat ini, skema final penentuan tarif dan mekanisme pungutan yang akan diterapkan serta Badan/Lembaga yang menangani BLU batubara ini belum ditetapkan. Rencana implementasi BLU Batubara yang ditargetkan pada kuartal pertama 2023 masih dalam pembahasan harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. Setelah selesai harmonisasi, maka akan ada permintaan paraf dari K/L terkait.


Di sisi lain, para pelaku usaha pertambangan batubara pun masih menanti kebijakan terbaru seputar pemenuhan DMO batubara. Menurut Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF), menjelang BLU Final, pemerintah mengubah pola dari BLU menjadi Mitra Instansi Pengelola (MIP) sehingga pengelola BLU yang sebelumnya diberikan kepada Lemigas ESDM bisa jadi akan berubah. Namun pemerintah telah memberikan klarifikasi bahwa pola MIP secara isi tidak akan mengubah apa yang ada dalam BLU yang bertujuan untuk meminimalkan disparitas harga yang terjadi untuk mengamankan pasokan batubara dalam negeri.


Kedepannya, dengan implementasi BLU atau MIP otomatis menyebabkan tidak berlakunya lagi kebijakan terkait denda dan kompensasi. Namun selama BLU atau MIP belum diimplementasikan sebaiknya kebijakan denda dan kompensasi tetap harus diberlakukan.

Posting Komentar