Postingan

Silaturahmi melalui dialektika “Bincang Skena”di Sarga

Persnews

makassar sulsel|

OPINI - Prolog : Berbicara soal Musik di Padang/Sumatera Barat memang selalu tidak ada habisnya. Maupun bertemakan fenomena masa lampau, bahkan realita yang terjadi saat ini di Ranah Minang. Etnis “Matrilineal” ini memang terkenal dengan budaya “dialektika” nya. Tak heran bahwa semua bisa di “Ota” kan. Namun, tentu saja “Ota Musik” tidak selalu berkonotasi negatif di Minangkabau. Apakah itu halusinasi beserta sinonim nya (Ota Kosong). Nyata memang, Sumatera Barat, area yang ditempati, dan didominasi oleh etnis Minang (Satu dari ribuan etnis di Indonesia) ini, melahirkan banyak tokoh “Musik” yang menorehkan namanya di lanskap musik nasional dan Internasional. Apakah “Samanjak Gunuang Marapi sagadang talua itiak” ?. Elemen etnosentris saya sebagai keturunan Minang Murni berkata; Bisa Jadi. Karena bukan semata hanya kaba yang diturunkan nenek moyang kami. Tapi memang fakta empiris membuktikan bahwa benar adanya, genealogis Minangkabau cenderung menjadi pendobrak dalam berbagai lini, termasuk Musik. 

Sekiranya cukup “prolog primordial” dari saya, untuk membuka “tulisan” terhadap kegiatan Bincang Skena yang diadakan di Ruang Suarga, Rabu 12 April 2023. Bertemakan; Seberapa penting integritas musik di Padang/Sumbar. Disengaja memang, kalimat yang seharusnya menggunakan tanda tanya (?), sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Tidak diformulasikan sebagaimana mestinya. Izinkan saya mengakui bahwa ini tak lepas dari “kegundahan” pribadi terhadap ironisnya ekosistem Musik di Sumbar hari ini. 

Apakah, jika kita mengikuti diskusi/berbincang tentang Musik dengan ada kata Integritas di dalamnya, sontak menjadi ajang aktualisasi diri?. Ajang adu argumen berdasarkan sentimen tanpa landasan konkrit secara holistik. Makna musik mana yang kita bela?.  Genre? , atau orientasi pribadi (dalam bentuk individu maupun badan tertentu)?.  

Apakah memang bermusik di Padang (Sumbar) seindah yang dibicarakan kaum tua?, se fyp yang di upload oleh kaum muda?. Atau se spektakuler yang digaungkan oleh segmen-segmen tertentu dalam gelas kacanya masing-masing, tanpa mengindahkan torehan oleh segmen lain?. Apakah kita hanya sebatas konsumen ultra konsumtif yang melaju-pacu ketika mendatangkan, atau mendatangi pertunjukan yang dipertontonkan oleh musisi-musisi nasional dan internasional?. Semati, atau se tergerus itukah daerah yang notabenenya penghasil tokoh-tokoh revolusioner? 

Sejauh mana kita menunjukkan apresiasi atau meningkatkan keterpaparan terhadap Musik di Sumbar tanpa mencampur-adukkan ego sektoral?. Jika memang kita menisbatkan diri kita sebagai si “Darah Murni Musik” , paling faham, paling berjuang dan berintegritas di labirin Musik Sumbar ini. Hal-hal inilah yang pada akhirnya mendorong saya untuk memformulasikan kalimat tema tersebut. Berlandaskan otokritik terhadap fakta; “Apa memang kita faham dan ambil andil dalam “Musik” dan “Integritas” di Padang/Sumbar”?. Apa ini hanya balada segelintir kaum teraniaya saja? Sementara masih banyak tokoh Musik Sumbar yang settle, tanpa perlu melakukan diskusi urat leher. 

Jikalau spoiler, foreshadowing, atau spill itu tidak berdosa. Pertanyaan-pertanyaan otokritik yang saya lampirkan di atas, kerap muncul dalam bentuk argumen yang berseliweran selama proses perbincangan berlangsung. Apakah kita memang belum seutuhnya bersinergi sembari melakukan otokritik secara massif?. Lantas apakah pertemuan ini sia-sia?. Tentu saja tidak. Sangat teramat tidak bahkan. Terlihat dari antusiasme dan vibes yang muncul dari pukul 20.00 - 03.00. Karena sejatinya, forum otokritik terhadap masyarakat penyangga ekosistem musik; Praktisi (dari promotor, vendor, organizer, media hingga pelaku musik), Akademisi, pemerhati dan umum di Padang/ Sumatera Barat ini sangat dibutuhkan. Dan ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata untuk menilik sejauh mana pemahaman dan tindakan kita dalam menunjukkan integritas Musik. Tetapi juga berlandaskan asas akselerasi agar perkembangan dan keharmonisan ekosistem Musik di Padang/Sumatera Barat terwujud. Tentunya membangun sinergitas “dewasa” adalah faktor penting dalam dalam hal ini. Ya, Silaturahmi. 

Menjalin silaturahmi lewat dialektika Musik di Sarga.

Rabu, 12 April 2023. Kegiatan kali ini mungkin sedikit berbeda. Walaupun memang pernah ada diskusi musik. Namun bisa dikatakan, ini adalah konsep full “Diskusi Musik” pertama di Ruang Sarga. Sebagai salah satu inisiator, saya merasa agak sedikit canggung memang. Karena pertanyaan-pertanyaan seperti; Apakah “perbincangan-nya” akan sesuai flow, apakah memang antusiasme nya akan bagus, dan yang paling penting. Apakah silaturahmi akan terjalin setelah kegiatan “Bincang Skena” tersebut? . Nevertheless, bermodalkan intuisi dan komitmen dari para kolaborator, hal tersebut tentunya memperkuat insting “show must go on” saya secara pribadi.

Vibes akan antusiasme terhadap kegiatan pun mulai terasa sekitar jam 20.00an. Ini dibuktikan dari beberapa narasumber dan audience yang sudah mulai datang ke lokasi. Di dominasi oleh praktisi dan akademisi memang. Namun, media, wadah komunal dan bahkan beberapa sektor kreatif serta beberapa wajah yang mungkin asing bagi saya, sempat terbersit, mungkin masyarakat umum kali ya?. Kemudian saya berpikir lagi; atau mungkin main gua aja yang gak lebar, karena itu saya gak tau, bapak, kakak, abang, atau teman-teman tersebut.

Akhirnya, 20.35 kegiatan pun dimulai. Para kolaborator pun mulai bersiap menjalankan perannya masing-masing. Ada Da Rijal Tanmenan (Gudang Seni Menata), Harris (Gazp), Adam (Studioc.eo). Para narasumber pun bergerak mengambil tempat duduk yang telah standy. Ada Adit (Diskresi), Rama (UK-kes UNP), Ronny Notsin (Penyiar), Eghip (Wajicreator), Uswatul Akim (Akademisi) dan Hafidz (Ketua PCCF). Sesaat setelah Background dan Term Of Reference dari “Bincang Skena” tersebut dibacakan. Masing-masing narasumber pun memberikan tanggapan terhadap tema diskusi tersebut.

Kesempatan pertama diambil oleh Ronny Notsin (Penyiar/salah satu penggerak Menace Space). Secara implisit, Ronny menjelaskan bahwa integritas tentu merupakan faktor penting. Namun ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan ketika menilik integrasi lintas komunitas. Demi membentuk ekosistem yang di dambakan tentunya. Ronny kerap menekankan bahwa aktor sosial yang berintegritas, sangat dibutuhkan dalam berintegrasi lintas komunitas. Dicontohkan dengan beberapa gerakan independent dan militan yang telah dilakukan oleh teman-teman di Mayhem/Menace Space. Tentunya amplitudo akan lebih besar lagi jika wadah komunal lainnya melakukan hal yang sama (dengan cara nya masing-masing tentunya) sembari berintegrasi.

Eghip Kurniawan dari Wajicreator (Swarnaland) pun sepakat bahwa integritas menjadi kunci penting di Musik. Berlatar belakang praktisi, Eghip menjelaskan bahwa kesiapan secara teknis sangat dibutuhkan. Beberapa poin teknis yang bersifat otokritik pun dipaparkan oleh Salah satu creator festival yang mengguncang Padang baru-baru ini. Kompleksitas dalam penyelenggaraan festival skala 22.000 penonton itu, tidak ujug-ujug mengurangi usaha maksimal yang ditunjukkan creator/promotor baik dalam treatment maupun hal teknis lainnya terhadap band lokal Padang. Hal ini datang dari dua arah tentunya (Band lokal dan Promotor). Berdasarkan pemaparan dan fakta, agaknya Swarnaland bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk integrasi integritas yang dilakukan terhadap musik di Padang. Salah satu fakta yang menarik dari Swarnaland adalah; mulai dari promotor, organizer, vendor, bahkan branding dan marketing division. Didominasi anak muda Padang/Sumbar. Secara eksplisit, hal ini membuktikan bahwa integrasi lintas disiplin tentunya sangat “mungkin” dilakukan di Padang/Sumbar. 

Kesempatan berikutnya berlanjut ke Uswatul Hakim. Berlatang belakang Praktisi sekaligus Akademisi. Insight-insight yang sangat filosofis, faktual serta humanis tentunya menjadi sudut pandang menarik dalam diskusi ini. Merujuk ke integritas musik, Terang saja Hakim mengatakan bahwa integritas adalah hal yang penting. Namun, Hakim menjelaskan bahwa fenomena musik (bunyi) saat ini di Padang, cenderung menjadi pengiring kata saja. Sebagai contoh, Hakim mengatakan “Kita datang bukan untuk mendengarkan karya musisinya, tapi lebih ke pengiring berbincang dan semacamnya”. Agaknya jika kita menilik dari perilaku mayoritas pengunjung coffee shop/cafe yang menampilkan live music, tentu saja pernyataan Hakim ini sangat relevan. Sekiranya bentuk integritas dari pendengar/audience, yang seharusnya termanifestasi dalam bentuk apresiasi pun bisa disimpulkan sedikit berkurang. Hakim juga menekankan bahwa apresiasi juga harus dilakukan oleh praktisi terhadap diri sendiri/grup mereka. Dikarenakan, para praktisi cenderung berusaha “membahagiakan” audience. Natural memang, namun terkadang hal inilah sering luput dari praktisi/pegiat skena. 

Aditya Rahman sebagai salah satu narasumber mewakili forum Diskresi (Diskusi kreatifitas dan seni), pun turut bersetuju bahwa integritas adalah faktor utama. Salah satu manifestasi dari integritas adalah konsistensi. Maka dari itu, Adit menerangkan bahwa, konsistensi harus terpapar ke seluruh “masyarakat penyangga ekosistem musik”. Namun Adit juga mengkritik bahwa kebanyakan komunitas di Padang masih belum sepenuhnya terbuka.  Lebih lanjut Adit menekankan bahwa, hal ini lah yang harus diperbaiki secara bersama.

Setelah tanggapan Adit yang terbilang “to the point”, Rama dari UK-kes Unp (Unit kesenian Universitas Negeri Padang) turut menjelaskan bahwa dengan kolaborasi, tentunya bisa menjadi hal yang membantu pembentukan sinergitas. Dalam forum ini Rama menjelaskan bahwa, GESIKA; sebagai salah satu produk festival garapan UK-kes UNP, cukup membuka diri untuk pola-pola kolaborasi dalam penggarapan salah satu festival musik mahasiswa yang cukup populer tersebut.

Tanggapan terakhir datang dari Ahmad Hafizd selaku Ketua PCCF (Padang Creative City Forum) Padang. Berlatar belakang social media branding dan marketing, perspektif dan cara ungkap Hafizd terbilang sangat menarik. Beberapa insight bahkan tawaran kolaborasi lewat jaringan “influencer” bahkan sampai penggalangan dana (investor/funding)  untuk berkesenian pun disuguhkan oleh Hafizd. Tentunya hal ini berkaitan juga dengan PCCF selaku wadah untuk advokasi dan penjembatanan 17 subsektor industri kreatif. Lebih konkrit Hafizd memaparkan bahwa, faktor socio-economic menjadi salah satu pertimbangan yang menjadi landasan dalam ruang kerja PCCF.

Setelah para narasumber selesai memberikan tanggapan, sesi “perbincangan” dua arah pun dimulai.
Terlihat seketika antusiasme partisipan cukup tinggi. Rata-rata memang terdiri dari praktisi dan akademisi. Dimulai dengan pertanyaan Wawa dengan pengalaman empiriknya; Kenapa musisi lokal di nomor duakan?, Sukun dengan pola tanggap yang cukup bergejolak akan pertanyaannya; “Integritas apa? , ini bicara tentang Anda? ini solusi nya bagaimana? saya teraniaya!!”, Hingga Koto, Angga dan Ranggon yang masing-masing mengkritisi tentang konsep dasar tema “bincang skena” ini.  Tepatnya, terhadap bentuk integritas yang seharusnya tidak hanya menyentuh ranah popular saja, tapi juga ranah socio-cultural.

Ruangan seketika panas ketika dialektika mulai bergulir. Berbagai keresahan dan perspektif pun di lemparkan di dalam forum. Hal ini tentu saja membuktikan bahwa geliat Musik di Padang/Sumbar semakin hidup tentunya. Antusiasme terhadap Musik, terbilang masih “cukup ada”. Sesi formal yang berakhir sekitar pukul 23.30an pun tidak menghambat teman-teman untuk “duduak malingka” melanjutkan perbincangan. Bahkan hingga jam 3.00 Pagi. Dalam beberapa kesempatan, Da Rijal Tanmenan sebagai Penanggap menekankan bahwa, musik sudah berada di “critical moment”. Hal ini memang tidak bisa dilakukan oleh beberapa grup khusus saja. Integritas dan integrasi memang sudah harus menjadi modal penting dalam masyarakat penyangga ekosistem. Maka dari itu, diharapkan manifesto yang kontinu dari audience untuk membawa spirit yang sama ke komunal masing-masing.

Epilog

Jelas memang dalam di dalam TOR berbunyi bahwa, “Bincang skena” mempunyai dua goals. Yang pertama yaitu “Silaturahmi”. Yang kedua adalah, membangun kesadaran lewat pola-pola otokritik selama dialektika berlangsung. Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan integritas integrasi yang dewasa demi perkembangan ekosistem Musik di Padang/Sumatera Barat. Nampak jelas dari pertemuan Rabu, 12 April 2023 ini menjadi momen, dimana hampir semua elemen masyarakat penyangga ekosistem Musik bertemu di Ruang Sarga. Hal-hal inilah yang kita harapkan terus bergulir di masing-masing wadah/ ruang lainnya. Karena sejatinya, ternyata kita sepeduli itu terhadap musik. Walaupun mempunyai cara ungkap yang berbeda, yang sebenarnya bukan persoalan. Karena Musik sendiri pun sangat luas. Toleransi tentu menjadi kunci dalam integrasi. Vibes peduli ini pun saya rasakan selama proses “perbincangan” tersebut berlanjut. Bahkan hingga Shubuh. Oleh karena itu optimisme saya terhadap akselerasi perkembangan Musik di Padang/Sumatera Barat pun sontak meningkat sepersekian persen. Dan sepertinya, jika memang spirit tersebut masih beresonansi. Tidak heran kita akan menyaksikan secara “berjamaah”, tahun 2023 ini di Padang/Sumatera Barat. Hal-hal yang mengisyaratkan integrasi yang berintegritas di bidang Musik.

Penulis : Akbar Nicholas

Posting Komentar