Postingan

Masa Kerja Sekda Aceh Tenggara Lewat 4 Bulan, Tidak Mentaati Prinsip Ne Bis Vexari Rule

Persnews

makassar sulsel`

Aceh Tenggara [ 

Pengangkatan dan pemberhentian seorang PNS dari Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (JPTP) di Daerah Kabupaten/Kota memiliki perbedaan secara prosedural antara Sekretaris Daerah (Sekda) dengan JPTP lainya, misalnya Kepala Dinas. Meskipun Sekda dan Kepala Dinas di daerah Kabupaten/Kota berada di bawah hirarkis Bupati, namun pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam prosedur yang berbeda.

Tulisan Kabiro Media Nasional Joernal Inakor (MNJI) di Aceh Tenggara (Agara)” ini mencoba menganalisis pemberhentian seseorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari jabatan Sekda secara umum dan secara khusus berdasar perspektif hukum tata negara dan hukum administrasi negara.

Penelusuran MNJI dari data Pejabat Eselon II Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara :
Nama : Mhd Ridwan,SE, M.Si.
NIP : 19651208 199703 1 004.
Jabatan Saat Ini : Sekretaris Daerah.
Terhitung Mulai Tanggal (TMT) Jabatan : 18-05-2018.
Masa Kerja : 4 Tahun 7 Bulan.
Pendidikan : S2.
TMT Pensiun : 08/12/2025.
Keterangan : E.II.

M Ridwan menduduki jabatan sebagai Sekda Aceh Tenggara terhitung mulai tanggal 18 Mei 2018 dengan masa kerja 4 tahun 7 bulan. Diperhitungkan masa jabatan M Ridwan sebagai Sekda Agara sudah lewat lebih kurang selama 4 bulan, lalu bagaimana hak-hak sebagai Sekda yang sudah diterima, lalu bagaimana pula dengan administrasi dan kebijakan selama lebih kurang 4 bulan yang telah melewati masa kerja???

Analisis dari Aspek Filosofis.
Sekda merupakan jabatan strategis yang dapat dikatakan “Satu-Satunya” di antara sekian jabatan di lingkup Pemerintahan Provinsi atau Kabupaten/Kota. Karena bersifat strategis, maka jabatan Sekda berada di bawah koordinasi Gubernur sebagai “Wakil Pemerintah Pusat”.

Tugas dan wewenang Gubernur sebagai wakil pemeirntah pusat tersebar dalam beberapa pasal pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai kewenangan atributif, yang terdiri dari 4 (empat) bidang. Yakni hukum, perencanaan, pemerintahan dan pembinaan dan pengawasan.

Di samping itu, diberikan juga kewenangan delegatif, yaitu melaksanakan sebagian urusan pusat berdasarkan asas dekonsentrasi dan berdasarkan program dan kegiatan Kementerian/Lembaga.

Mengaitkan tugas dan wewenang Gubernur sebagai “Wakil Pemerintah Pusat” dengan jabatan Sekda, dimana Gubernur mempunyai wewenang menunjuk dan “menyetujui” Penjabat (Pj) Sekda.

Pemaknaan frasa “menyetujui” termasuk pemberhentian Sekda defenitif atau Pelaksana Sekda tingkat Kabupaten/Kota. Kendati Sekda Provinsi dan Sekda Kabupaten/Kota adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berkedudukan sebagai PNS Daerah, namun kedudukan demikian bukan sebagai dasar bagi Gubernur/Bupati/Walikota mengangkat dan memberhentikan Sekda beralas hukum keputusan pengangkatan/pemberhentian tanpa persetujuan pejabat tingkat atasnya Sekda Provinsi perlu persetujuan Presiden, Sekda Kabupaten/Kota perlu persetujuan Gubernur.

Persetujuan dimaksud bertolak dari :
1. Pengangkatan dan pelantikan Sekda Kabupaten/Kota dikoordinasikan lebih dahulu kepada Gubernur dan hasil koordinasi menjadi dasar bagi Bupati/Walikota dalam menetapkan dan melantik Sekda Kabupaten/Kota.

2. Sekda Provinsi adalah kader pemerintah pusat, sedangkan Sekda Kabupaten/Kota adalah kader Provinsi, dan karena itu penetapan dan pelantikan Sekda Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota memerlukan rekomendasi persetujuan dari Gubernur.

Berkenaan dengan dua aspek tersebut, konsekuensinya terhadap pemberhentian Sekda Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) harus dikoordinasikan terlebih dahulu kepada Gubernur Aceh untuk mendapatkan persetujuan. Dalam konteks ini, Gubernur Aceh dapat menerima atau menolak pemberhentian Sekda Agara atau dengan kata lain, Gubernur Aceh memiliki hak tolak dan hak terima.

Karena pengangkatan dan pelantikan Sekda Agara memerlukan persetujuan Gubernur Aceh terlebih dahulu maka pemberhentiannya pun harus memerlukan persetujuan Gubernur Aceh terlebih dahulu pula.

Tanpa adanya koordinasi dengan Gubernur Aceh maka Keputusan Pj Bupati Agara tentang pemberhentian Sekda Agara cacat prosedur yang berimplikasi tidak sah, karena tidak disertai atau didasari dengan rekomendasi dari Gubernur Aceh.

Persetujuan pemberhentian Sekda Agara dari Gubernur Aceh merupakan syarat mutlak yang wajib dipenuhi oleh Pj Bupati Agara sebagaimana halnya dengan rekomendasi Gubernur Aceh kepada Pj Bupati Agara dalam pengangkatan dan pelantikan Sekda Kabupaten Aceh Tenggara.

Rekomendasi dari Gubernur Aceh sebagai tanda persetujuan merupakan manifestasi dari fungsi pengawasan dan kedudukan Daerah Provinsi sebagai unit antara dimana Gubernur diberi wewenang tambahan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah dalam sistem Negara Kesatuan yang dianut di Indonesia.

Pertimbangan filosofis diatas bertujuan menjaga keutuhan dan soliditas Negara Kesatun Republik Indonesia (NKRI). Keutuhan dan soliditas NKRI memerlukan pengawasan pemerintahan secara berjenjang. Dalam konteks pemerintahan/eksekutif, keberadaan Sekda Provinsi memegang peran kontrol yang didelegasikan oleh pemerintah pusat untuk mengawasi kinerja dan roda organisasi pemerintahan Provinsi.

Demikian juga dengan Sekda Kabupaten/Kota melaksanakan peran pengawasan yang didelegasikan oleh Pemerintah Provinsi untuk melaksanakan pengawasan terhadap ASN di lingkup pemerintahannya. Adanya kontrol yang bertingkat demikian kompatibel dengan prinsip dalam negara kesatuan yang menyatakan bahwa pengawasan adalah pengikat Negara Kesatuan.

Analisis dari Aspek Yuridis.
Keputusan Walikota Baubau Nomor: 101/I/2023, bertanggal 31 Januari 2023 tentang pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau mengandung kelemahan secara hukum dan ketidakfaktualan, dikarenakan :
1. Pertimbangan filosofis dalam Keputusan Walikota pada huruf a bertentangan dengan pertimbangan pada huruf c, karena Roni Muchtar selaku Sekda Kota Baubau tidak pernah dievaluasi kinerjanya oleh Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau. Hal ini sekaligus menunjukan pula bahwa Keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Baubau yang mendasarkan Pasal 117 Ayat (1) Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diduduki Paling lama 5 (lima) tahun. Ayat (2) Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan “Pencapaian Kinerja, Kesesuaian Kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN”. UU ASN bersifat parsial dan tidak komprehensif.

Keputusan Walikota juga memperlihatkan ambiguitas antara masa jabatan Sekda (Pasal 117 ayat (2) UU ASN) dengan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi, Pasal 117 ayat (2) UU ASN sebagai dasar pemberhentian. Dengan begitu, maka Keputusan Walikota menyimpangi :

a. Asas kepastian hukum dalam 2 UU ASN: asas kepastian hukum adalah dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN, mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.

b. Asas kepastian hukum dalam Pasal 10 UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada huruf a: asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.

c. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 10 UU No 30/2014 pada huruf e ” adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

2. Pertimbangan filosofis dalam Keputusan Walikota pada huruf c tidak faktual atau tidak pernah terlaksana sehinga menyalahi ketentuan Pasal 117 ayat 2 UU No 5/2014 tentang ASN juncto Pasal 133 ayat (2) PP No 11/2017 tentang Manajemen PNS sebagaimana telah dirubah dengan PP No 17/2020 tentag Perubahan PP No 11/2017 tentang Manajemen PNS.

Adapun bunyi dari Pasal 117 ayat (2) UU ASN tersebut adalah Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan "Pencapaian Kinerja, Kesesuaian Kompetensi, dan Berdasarkan Kebutuhan Instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)”.

Sedangkan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) PP No 11/2017 adalah “JPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan PPK dan berkoordinasi dengan KASN”.

Maka, Keputusan Walikota Baubau tentang pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau lebih beraroma politis dan bukan berdasar pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-udangan.

3. Pertimbangan yuridis yang dimuat dalam konsideran “Mengingat” tidak mencantumkan ketentuan yang melegitimasi keberadaan Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau sebagaimana dicantumkan dalam pertimbangan pada huruf c yang berbunyi, “Bahwa Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau merekomendasikan untuk tidak memperpanjang masa jabatan Saudara tersebut dalam huruf b sebagai Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau”.

Tim Evaluasi dimaksud harus didasari dengan penerbitan Keputusan Walikota tentang pembentukan Tim Evaluasi Pejabat Tinggi Pratama Sekretaris Daerah Kota Baubau (Penjelasan Pasal 133 ayat (1) PP No 11/2017).

Selanjutnya Tim ini melakukan tugasnya mengevaluasi pencapaian kinerja, kesesuain kompetensi, dan kebutuhan instansi melalui mekanisme yang ditetapkan dalam Keputusan. Tanpa ada Keputusan Walikota yang melegalkan tindakan Tim Evaluasi, maka Keputusan pemberhentian Roni Muchtar sebagai Sekda Kota Baubau tidak sah.

Mustinya Walikota Baubau menaati prinsip dalam hukum administrasi negara: Ne Bis Vexari Rule: asas yang menghendaki agar setiap tindakan administrasi negara harus didasarkan atas Undang Undang dan hukum.

Didalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah telah ditetapkan bahwa Bupati/Wali kota mengangkat Penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah kabupaten/kota setelah mendapat persetujuan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Masa jabatan penjabat sekretaris daerah sebagaimana dimaksud paling lama 6 (enam) bulan dalam hal sekretaris daerah tidak bisa melaksanakan tugas dan paling lama 3 (tiga) bulan dalam hal terjadi kekosongan sekretaris daerah.

Tugas yang diemban Drs,Syakir, M.Si tidaklah mudah, ketika menjalankan roda pemerintahan setelah dilantik menjadi Pj Bupati Aceh Tenggara, banyak menerima warisan masalah yang harus diselesaiakan dengan peraturan dan perundang-undangan, mereka-mereka yang selama ini terbiasa berkerja diluar aturan, kembalilah kejalan yang benar demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh Tenggara.

Posting Komentar