FGD BPIP Soroti Pembenahanan Etika Penyelenggara Negara Melalui Reformasi Sistem Pendidikan Moral

Persnews

 FGD BPIP Soroti Pembenahanan Etika Penyelenggara Negara Melalui Reformasi Sistem Pendidikan Moral






Malang - Sejak pancasila ditetapkan dan disepakati sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, sejak saat itulah sumber moral dalam kebijakan maupun panduan moralitas dalam berperilaku sehari-hari telah sah mengikat seluruh warga negara termasuk penyelenggara negara.



Pancasila tidak hanya disosialisasikan di ruang pendidikan sejak dini, namun juga tergema, tergaung dan tersosialisasi di ruang-ruang publik khususnya pada pidato dan diskusi kenegaraaan oleh para penyelenggara negara.



Namun fenomena yang terpotret adalah masyarakat kerap menjadi objek perintah untuk berperilaku pancasilais, namun penyelenggara negara sendiri tidak berperilaku pancasilais. Pada akhirnya Pancasila hanya sebuah ritual dan retorika belaka. Fenomena ini terjadi di berbagai sektor termasuk sektor sosial dan pendidikan.



Hal itu menjadi salah satu pokok pikiran dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Etika Sosial dan Pendidikan bertema Etika Sosial dan Pendidikan yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila di Universitas Negeri Malang, Senin (2/9).



Kegiatan ini dihadiri sejumlah narasumber yaitu Johan Hasan, Mohammad Mahfud MD, Ki Darmaningtyas, Garin Nugroho Riyanto, Siti Musdah Mulia, Usman Hamid, Syamsul Arifin, Doni Koesoema, Anita Lie, Masdar Hilmy, Yayah Khisbiyah, dan Hariyono.



Menurut Hariyono yang juga Rektor Universitas Negeri Malang, dampak dari penyelenggara negara yang tidak pancasilais membuat masyarakat sulit memaknai etika, apakah hanya berkaitan dengan etiket atau sopan santu saja, sehingga protokoler menjadi yang paling utama “Etiket itu penting. Tapi, yang pokok ialah dikaitkan degan filsafat etika, ilmu yang berkaitan dengan sesuatu hal pantas atau tidak,” katanya.



Pengajaran tentang etika diperoleh dari Pendidikan. Namun, pendidikan yang menjadi akar peradaban bangsa dan tiang kesuksesan negara, kini telah diredusi nilai-nilainya baik oleh kapitalisasi, liberalisasi dan juga privatisasi.



Kaum kapitalis melihat bahwa pendidikan adalah lahan investasi untuk mencari keuntungan (education for profit). Pemerintah justru memfasilitasi proses liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan dengan membuat UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang walaupun telah dicabut MK namun muncul lagi aturan tentang perubahan PTN menjadi PTNBH dan pendidikan tinggi asing (PTA) di Indonesia.



”kita terjebak kepada pendidikan yang coraknya agak kapitalistik. Terjebak oleh kapitlaisasi dan direduksi ke wilayah persaingan, competitiveness. Ranking lebih didahulukan daripada nilai,” ujar anggota Dewan Pengarah BPIP Muhamamd Amin Abdullah yang menjadi moderator dalam FGD tersebut.



Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka investasi, Sektor pendidikan masuk ke dalam sektor investasi yang terbuka bagi penanaman modal asing.



Praktik-praktik ini menunjukkan maraknya kapitalisasi di sektor pendidikan sehingga meninggalkan tujuan dan hakikat pendidikan sebagai pencerdas kehidupan yang bukan hanya mengandung makna pencerdasan otak, namun juga pencerdasan watak. Pendidikan seharusnya tidak hanya sebagai sumber intelektualitas namun juga sebagai sumber moralitas.



“Secara ekonomis biaya pendidikan makin mahal, tapi tidak berualitas. Komersialisasi pendidikan terjadi, terutama di perguruan tinggi. Pengelollan pendidikan saat ini persis seperti mengelola perusahaan. Makanya saya sebut sebagai proses korporatisasi,” kata Ki Darmaningtyas, Pakar Pandidikan Taman Siswa Kapitalisasi pendidikan telah menciptakan beberapa kondisi diantaranya mahalnya biaya pendidikan, segregasi perbedaan kelas menengah atas dan bawah sehingga membuat masa depan pekerjaan pada kelas bawah menjadi terbatas dan menciptakan kemiskinan baru, hingga problematika ketimpangan lainnya.



Fenomena ini diperparah dengan korupsi , kolusi dan nepotisme besar-besaran yang terjadi di sektor pendidikan. Bahkan KPK mengungkap 33% sekolah melakukan korupsi anggaran. Praktik pemerasan, pemotongan, pungutan, nepotisme barang jasa sebesar 20,52 persen, penggelembungan biaya penggunaan dana 30% dan lain sebagainya.

Belum lagi perilaku penyelenggara negara yang flexing, pamer kemewahan, berbohong atas anggaran, pemborosan anggaran semakin memperparah kondisi.



Belum lagi anggaran penddidikan yang hanya 20%, ternyata tidak sepenuhnya dialokasikan untuk biaya pendidikan namun juga dialihkan untuk kementerian lain.



Problematika lainnya adalah hilangnya etika dalam proses penyelenggaraan pendidikan baik praktik plagiasi, pemberian gelar pendidikan hanya karena suap dan gratifikasi, serta praktik birokratisasi yang telah merusak kultur pendidikan.



Akibat dari fenomena-fenomena tersebut menyebabkan kondisi tingkat pendidikan masyarakat baik dari literasi maupun karakter menjadi terdegradasi.



“Yang terjadi saat ini banyak anak-anak kita tidak memperoleh akses pendidikan. Disini ada integritas moral pejabat publik yang lemah. Ini situasi kelembagaan dan kultur yang memprihatinkan,” ujar Doni Koesoema, Pemerhati Pendidian.



Hal ini dibuktikan juga dengan gema masyarakat indonesia yang hidup di ruang media sosial (warga net) yang riuh secara massa namun rendah secara kualitas. Tidak ada panduan etis di dunia maya sehingga membuat Indonesia memperoleh peringkat 1 netizen paling tidak sopan se-Asia.



“Strategi pada medsos lebih banyak strategi perdagangan dan perlindungan kekuasaan, tapi tidak strategi tumbuhnya masyarakat sipil yang sehat dan produktif. Diganti oleh strrategi pmerintah utnuk tegakkan otoritarian politik, manipulasi, dan pengembangan ekonomi yang banal,” tegas Garin Nurgoho, budayawan dan sutradara film.



Akibat yang terjadi di dunia nyata sebagaimana yang dikatakan Menteri Pendidikan pada awal tahun 2022 menegaskan bahwa indonesia memiliki 3 dosa pendidikan yaitu kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi.



Reintrepretasi ajaran agama yang seharusnya megedapankan nilai spritualitas, menghargai cinta kasih, menghargai kesetaraan dan menghargai lingkungan, justru berubah menjadi formalisasi agama yang meningkatkan ekslusivitas dan egoisme beragama.



Pada akhirnya dari seluruh fenomena tersebut, Pendidikan bukan lagi sebagai proses pencerdasan bangsa, tetapi sekedar pemenuhan kewajiban konstitusional, Pendidikan bukan proses humanisasi tapi proses dehumanisasi



Dari hasil FGD tersebut, BPIP memberikan sejumlah rekomendasi, yaitu Kebijakan :



Presiden yang baru diharapkan menempatkan pejabat-pejabat publik yang memiliki kompetensi, profesionalitas, berintegritas dan terhindar dari konflik kepentingan.



Melakukan positivisasi norma etika dengan disertai pengenaan sanksi yang mengikat Judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU ASN agar Guru dan dosen ASN juga dapat ditempatkan di perguruan swasta. Begitu juga dengan rumah sakit-rumah sakit swasta berhak mendapatkan bantuan dokter ASN yang ditempatkan di RS swasta.



Reformasi sejumlah undang-undang/peraturan yang yang diskriminatif. Terdapat 147 undang-undang/peraturan perundang-undangan yang mengandung unsur diskriminatif dan Intoleran.



Pendidikan oleh ormas-ormas dan civil society disertai penataan ruang publik, tempat-tempat dan fasilitas umum agar kondusif bagi penguatan moral dan etika.


Politik :

Rekrutmen pejabat pendidikan harus transparan dan bebas dari konflik kepentingan untuk memastikan kebijakan yang etis dan bermoral Keteladanan para pemimpin untuk bekerja bukan hanya sesuai dengan prosedur hukum saja tetapi juga harus berdasar moral dan etika.


Pendidikan :

Etika sosial harus diajarkan dalam bentuk bentuk yag praktis dan memadukan antara yang duniawi dan ukhrawi agar ada sense of urgency di balik sebuah etika sosial.



Pembelajaran harus disosialisasikan dengan basis sebagaimana diajarkan Ki Hajar Dewantoro yang membagi pendidikan tiga sentra: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Seringkali diberatkan pada sekolah, padahal keluarga dan masyarakat perannya dibutuhkan.



Dibutuhkan etika sosial yang aplikatif tetapi rasional dan praktis.



Dalam bidang pendidikan Kekerasan Seksual :

materi penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi;

Menguatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik di pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi tentang materi penghapusan Kekerasan Seksual; dan



Menetapkan kebijakan penghapusan Kekerasan Seksual dalam lingkungan lembaga pendidikan.


BPIP : Metode dalam pembelajaran Pancasila harus direformasi Buku atau bahan ajar yang sudah dibuat BPIP bisa dilakukan pengkajuan ulang.



Pancasila harus menjadi basis dan orientasi Pendidikan Pancasila perlu dikembangkan sebagai etika, paradigma, dan ilmu Pendidikan.


(R_Kfs74/PewarnaJbr)

Posting Komentar